NEGARA tak ubahnya dengan sebuah perahu berukuran maha besar dengan penumpang maha banyak. Jika nahkoda perahu itu mampu menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik, perahu akan dapat berlayar dengan baik pula, meski diterjang ombak sebesar apa pun, dan akan sampai di tujuan sesuai yang direncanakan. Jika tidak, maka sebaliknya.
Namun kita menyaksikan sendiri pergantian era Orde Baru dengan era Reformasi yang mengiringi lengsernya Soeharto setelah berkuasa selama 32 tahun, tidak membuat negara ini makin dekat dengan apa yang dicita-citakan para pendiri bangsa dan para pejuang yang rela mengorbankan nyawanya demi merebut kemerdekaan dari kolinialisme Belanda dan Jepang, yakni negara besar yang adil, makmur, dan rakyatnya sejahtera. Indonesia bahkan telah terjerus dari negara berkembang ke negara miskin.
Pada 2012 silam, sebuah lembaga nirlaba international, The Fund for Peace, menempatkan Indonesia pada urutan ke-63 dari 178 negara yang dikategorikan sebagai negara gagal. Peringkat disusun berdasarkan indikator penanganan masalah dan penegakkan hukum, politik, ekonomi, sosial, dan HAM. Ini menyedihkan mengingat Indonesia termasuk kaya dalam banyak hal, yakni kaya sumber daya manusia (SDM), dan kaya akan sumber daya alam (SDA) yang bertebaran di daratan maupun di perairan.
Kala Era Orde Baru masih berkibar pada 1966 hingga 1998, Indonesia sempat menjadi negara yang membuat negara-negara lain tercengang dengan pertumbuhan ekonominya yang luar biasa, sehingga Indonesia dijuluki sebagai Macan Asia. Bahkan sebagai negara agraris, Indonesia mampu melakukan swasembada pangan, bahkan mengekspor beras.
Namun, sayangnya, pada Era Orde Baru pula Indonesia tumbuh menjadi negara dengan fundamentalisme ekonomi yang lemah, penegakkan hukum yang tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, dan keberpihakan kepada asing yang lebih besar dibanding kepada bangsanya sendiri. Pada masa inilah para pengusaha dan kapitalis asing menjadi anak emas, sehingga regulasi yang dibuat membuka peluang bagi mereka untuk menguasai pangsa pasar dan hasil bumi dengan seluas-luasnya. Sementara para pekerja yang notabene merupakan anak bangsa, juga para pegawai negeri sipil (PNS), ditekan dengan regulasi pemberian gaji/upah yang rendah, jauh di bawah kebutuhan hidup layak (KHL).
Tak hanya itu, sistem kroniisme yang dikembangkan, menumbuhsuburkan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), sehingga peluang kerja bagi rakyat kecil menyempit karena untuk mendapat suatu pekerjaan, orang harus membayar uang pelicin yang jumlahnya selangit, dan selalu disandarkan pada hubungan kekerabatan atau kekeluargaan. Kesenjangan antara si miskin dan si kaya pun melebar, karena sistem yang dibangun hanya membuat perputaran sebagian besar uang negara terjadi di sekitar lingkar kekuasaan. Apalagi karena dengan kekuasaan Soeharto, anak, saudara, kerabat dan teman, dapat mengambil apa pun dari negara, termasuk yang sebenarnya milik rakyat.
Ketika krisis moneter meledak pada 1997, sistem yang dibangun Orde Baru kena batunya. Penganakemasan pengusaha terbukti tidak membuat fundametalisme ekonomi menjadi kuat. Meroketnya nilai dolar terhadap rupiah dari Rp2.500 per dolar AS menjadi hingga sempat mencapai Rp13.000 per dolar AS, membuat perekonomian runtuh karena kerajaan bisnis para pengusaha yang dibangun dan dikembangkan dengan berbasis utang dari dalam dan luar negeri, tak mampu tetap berdiri tegak akibat utang yang jatuh tempo tak dapat dibayar.
Imbasnya, harga kebutuhan melonjak ratusan persen, masyarakat marah, dan Soeharto dituntut mundur. Dia menolak. Lalu terjadi kerusuhan yang meluas di sejumlah daerah, termasuk Jakarta, yang kita kenal dengan Kerusuhan Mei 1998, yang pada akhirnya memaksa sang Penguasa Orde Baru lengser keprabon dengan terpaksa.
Saat Orde Reformasi bergulir pasca lengsernya Soeharto, segenap rakyat berharap banyak dari orde yang lahir berkat gerakan mahasiswa ini. Namun terbukti, orde ini tak mampu memenuhi harapan rakyat karena budaya korupsi warisan Orde Baru hingga kini tetap mencengkeram bangsa ini, dan keleluasaan yang diberikan kepada kapitalis asing semakin nyata memperlihatkan bahwa Indonesia sebenarnya tengah menjalani kolonialisme jilid II yang dilakukan melalui bidang ekonomi. Janji-janji para presiden yang datang silih berganti setelah Soeharto, yang diumbar saat kampanye Pemilu Presiden (Pilpres), semuanya omong kosong.
Pada pemerintahan Gus Dur, pemerintah membuka keran bagi bangsa Yahudi untuk berkiprah dengan leluasa di Indonesia, meski semua orang tahu Yahudi dan gerakan Zionis-nya amat berbahaya karena mereka memiliki agenda untuk menguasai dunia. Tak heran jika pada 1961 Presiden Soekarno melarang organisasi Yahudi apa pun untuk beraktivitas di Indonesia.
Di masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, aset-aset negara dijual, di antaranya ada yang jatuh ke tangan Yahudi, yakni PT Indosat.
Di era pemerintahan SBY yang mencapai dua periode, keadaan tidak menjadi lebih baik. Kita bahkan dikagetkan oleh dugaan kriminalisasi terhadap mantan Ketua KPK Antasari Azhar yang sempat berupaya membongkar kasus korupsi pengadaan IT di KPU pada 2009, dan pembobolan keuangan negara melalui pemberian dana talangan (bailout) kepada Bank Century yang mencapai Rp6,7 triliun yang diduga melibatkan partai SBY, Partai Demokrat.
Tak hanya itu, sejumlah kader partai SBY juga terlibat kasus korupsi sehingga elektabilitas partai itu terjun bebas dari 20,85 persen pada 2009, menjadi hanya sekitar 7 persen berdasarkan survei terakhir.
Kini, menjelang Pemilu 2014 dimana rakyat Indonesia akan memilih pemimpin baru untuk periode 2014-2019, satu nama baru sedang mencuat dan berkibar, mengalahkan nama-nama lain yang berambisi menjadi presiden pengganti SBY. Nama itu mulai terangkat pada Pemilukada DKI Jakarta 2012, kala berduet dengan politisi Partai Gerindra Basuki Tjahaja “Ahok” Purnama untuk memperebutkan kursi DKI 1, bersaing dengan incumbent Fauzi Bowo dan pasangan cawagubnya, Nachrowi Ramli, yang sama-sama politisi Partai Demokrat. Hebat, nama itu dan Ahok menang, meski dia besar dan lahir di Solo, Jawa Tengah, dan tak pernah tinggal di Jakarta. Nama itu adalah Joko Widodo yang akrab disapa Jokowi.
Para pengamat menilai, kelebihan nama yang satu ini adalah sifatnya yang sederhana, kesungguhannya dalam berbakti kepada negara dan rakyat dalam mengemban tugas, dan amanah. Dia bahkan dianggap sukses memimpin Kota Solo hingga dua periode.
Begitu nama itu mencuat, perhatian publik terhadapnya amat luar biasa. Dimana pun dia muncul, dia disambut bak selebritis kelas dunia. Bahkan dalam setiap survei tentang pencapresan, namanya selalu muncul di urutan tiga besar. Bahkan beberapa kali di puncak. Mereka yang berambisi menjadi presiden pun, seperti Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie dan Ketua Dewan Pembina Partai Gerinda Prabowo Subianto, menginginkannya menjadi cawapres agar elektabilitas Jokowi yang mumpuni, dapat membantu mereka meraih kursi RI-1.
Problemnya sekarang, Jokowi berkali-kali mengatakan ingin fokus membenahi Jakarta hingga masa baktinya sebagai gubernur di Ibukota negara tuntas pada 2017, namun ia juga menyerahkan sepenuhnya nasib perjalanan karir politiknya kepada Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sebagai ketua partai dimana ia bernaung. Jika PDIP memutuskan untuk mengusung Jokowi sebagai capres pada 2014, rakyat mungkin akan gembira. Jika tidak, rakyat akan bingung memilih satu di antara sejumlah politikus yang telah mendeklarasikan dirinya sebagai capres tahun depan.
Berangkat dari persoalan ini, kita menyadari bahwa bangsa ini membutuhkan seorang pemimpin yang dianggap mampu mengemban amanatnya dengan baik seperti ketika Jokowi menjadi walikota Solo. Bangsa ini juga merindukan figur pemimpin seperti Jokowi yang tak segan-segan mendatangi rakyatnya melalui program blusukan yang dilakukan setiap hari, rindu pada pemimpin yang tak hanya menerima laporan dari anak buah, melainkan turun langsung ke lapangan melihat kondisi ril masyarakat, dan rindu pada pemimpin berkepribadian sederhana namun berkualitas, bukan pemimpin yang hanya pintar melakukan pencitraan demi mendongkrak elektabilitasnya.
Jokowi adalah figur ril pemimpin dambaan rakyat Indonesia saat ini, dan sayangnya saat ini baru satu figur seperti ini yang telah muncul ke permukaan. Jika saja ada dua, tiga, atau seribu figur seperti Jokowi di Indonesia, para the founding father dan para pejuang yang kini hidup di alam sana, pasti tersenyum karena apa yang mereka cita-citakan puluhan tahun lalu, di masa perjuangan, Insya Allah akan menjadi kenyataan. Indonesia butuh seorang Satria Piningit, dan Jokowi mungkin Satria Piningit itu. [KbrNet/Slm]
Source: obornews.com
JOKOWI PRESIDEN RAKYAT GEMBIRA
Popularitas Jokowi Melambung
TRIBUNMANADO.CO.ID, JAKARTA — Hasil survei Kompas dengan popularitas Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo yang kian meroket menjadi isyarat bagi politisi generasi tua untuk bisa menerima kenyataan dan tidak memaksakan kehendak pada Pilpres 2014. Munculnya figur-figur di luar senior telah menandakan bahwa generasi muda politisi Indonesia telah bermunculan dengan mengandalkan kinerja ketimbang pencitraan.Demikian pendapat yang disampaikan secara terpisah oleh pengajar ilmu politik di Universitas Padjadjaran, Bandung, Muradi, serta peneliti senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS), J Kristiadi, Senin (26/8/2013).Survei yang dilakukan Litbang Kompas menampilkan popularitas Jokowi meroket dari 17,7 persen pada Desember 2012 menjadi 32,5 persen pada Juni 2013. Sementara empat nama lainnya jauh di bawahnya, yaitu Prabowo Subianto, Megawati Soekarnoputri, Jusuf Kalla, dan Aburizal Bakrie.”Hasil ini seharusnya jadi tanda bagi politisi senior mengenai munculnya para politisi muda yang tampil berkat kerja mereka,” ujar Muradi.Fenomena ini sebaiknya dijadikan pelajaran bagi partai politik untuk mendorong munculnya calon pemimpin yang mengutamakan kerja daripada pencitraan. Oleh karena itu, konvensi yang dilakukan Partai Demokrat ataupun rapat pimpinan nasional yang diusung Partai Golkar bukanlah jalan yang ideal.Pengamat politik Kristiadi mengatakan, hasil survei ini juga menjadi konfirmasi atas berbagai survei yang digelar sebelumnya dan menempatkan Jokowi selaku pemuncak.Hasil ini juga menjadi cerminan atas sentimen publik terhadap Jokowi yang terbukti memberi manfaat bagi masyarakat dan mampu menyelesaikan permasalahan yang gagal dituntaskan gubernur terdahulu.”Munculnya Jokowi menjadi harapan bagi masyarakat yang telah apatis terhadap politik. Tidak jarang mereka bahkan membela habis-habisan kebijakan yang sudah dibuat Jokowi,” ujar Kristiadi.Baik Muradi maupun Kristiadi sepakat, Jokowi masih harus menunggu restu dari Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri untuk maju. Keduanya pun menyarankan Megawati agar berbesar hati dan mendorong tampilnya kader muda ke kancah nasional.Muradi juga berpendapat, popularitas Jokowi akan terganggu apabila Megawati memaksakan diri untuk maju dan menggandengnya sebagai wakil.Salah satu skenario ideal adalah mengusung Jokowi sebagai presiden dan berpasangan dengan figur profesional. Dari figur politisi tua, hanya Jusuf Kalla yang disebut Muradi paling pantas berpasangan dengan Jokowi karena memiliki kesamaan dalam cara menyelesaikan masalah.Menanggapi survei ini, seperti biasa Jokowi tak mau berkomentar panjang. ”Yang itu biar masyarakat yang jawab. Jangan tanya saya dong. Biarlah masyarakat yang menilai,” katanya. (Didit Putra Erlangga Rahardjo, Sonya Helen Sinombor)
sumber http://www.citizenjurnalism.com/
Posting Komentar
Terima Kasih telah berkunjung ke web kami, mudah-mudahan jadi pelanggan setia. Happy shopping!!!